• KEFAKIRAN MENDEKATI KEKUFURAN?!


    KEFAKIRAN MENDEKATI KEKUFURAN?!

    Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi


    Sekarang ini, hampir semua pembicara dan penulis  membahas tentang kefakiran dan kemiskinan, bagaimana keburukan dan dampak negatifnya serta cara mengentaskan masyarakat darinya, bahkan tak jarang ada yang berani menegaskan secara terang-terangan bahwa masalah utama keterperukan negara saat ini adalah masalah perekonomian, jika masalah ekonomi bisa ditanggulangi maka negara akan menjadi baik. Seakan-akan masalah ekonomi adalah masalah yang paling inti dari semua problematika bangsa dan negara.
    Mungkin saja, para pencetus pemikiran tersebut terbuai dengan sebuah hadits yang sering dijadikan bahan pembahasan ini sehingga hadits tersebut laris manis beredar di masyarakat yaitu "Hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran". Nah, apakah hadits yang ngetop ini benar-benar shohih dari ucapan Nabi Muhammad?! Benarkah isi hadits tersebut? Lantas, bagaimana Islam menyikapi kemiskinan dan kefakiran?! Berikut ini adalah pembahasan sederhana tentangnya.   


    TEKS DAN TAKHRIJ HADITS
    كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا وَ كَادَ الْحَسَدُ أَنْ يَسْبِقَ الْقَدَرَ
    Hampir-hampir saja kefakiran akan menjadi kekufuran dan hampir saja hasad mendahului takdir.
    DHO’IF/LEMAH. Berkata As-Sakhowi dalam “Al-Maqosidul Hasanah”: “Diriwayatkan Ahmad bin Mani’ dari Hasan atau Anas secara marfu’. Dan diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/53,109 dan 8/253) Ibnu Sakan dalam Mushonnaf-nya, Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/486/1) dan Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil dari Hasan tanpa ada keraguan”.
    Berkata Al-‘Iroqi (3/163): “Diriwayatkan Abu Muslim Al-Kisyi dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari riwayat Yazid Ar-Roqqosyi dari Anas. Sedangkan Yazid ini, seorang  rowi yang lemah”.
    Ibnul Jauzi berkata dalam 'Ilal Mutanahiyah 3/163: "Hadits ini tidak shohih dari Rasulullah. Yazid ar-Roqqosyi tidak diterima riwayatnya. Syub'bah berkata: "Saya zina lebih saya sukai daripada meriwayatkan hadits dari Yazid ar-Roqqosyi".
    Dan diriwayatkan pula oleh Ad-Dulabi dalam “Al-Kuna” (2/131) dari jalan Yazid bin Roqqosyi juga. Demikian pula al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/286/1) dan Al-Qudho’i (380).          Berkata Al-Haitsami dalam “Mazma’ Zawaid” (8/78): “Diriwayatkan ath-Thobaroni dalam Al-Ausath dari Anas. Dalam sanadnya, terdapat ‘Amr bin Utsman Al-Kilaabi, dia dianggap terpercaya oleh Ibnu Hibban padahal dia adalah matruk”.
                Dan diriwayatkan juga dari hadits Ibnu Abbas, sebagaimana riwayat Abu Bakar ath-Thoritsi dalam Musalsalat-nya 127-131 dan haditsnya adalah maudhu' (palsu). Dan diriwayatkan oleh Nashr al-Maqdisi dalam Majlis Min Amalihi 2/195 dari jalur Ali bin Muhammad bin Hatim dari Husain bin Muhammad bin Yahya al-Alawi dari ayahnya dari kakeknya dari Ali bin Abi Thalib secara marfu' (sampai kepada Nabi). Sanad ini gelap, semua rowi setelah Ali tidak ada yang dikenal. [1]
                Kesimpulannya, hadits ini adalah lemah, semua penguatnya tidak berguna dan tidak bisa mengangkat derajatnya karena semua jalurnya terlalu parah keadaannya.
               
    MATAN HADITS
                Isi hadits inipun tidak benar, karena mengatakan kekafiran adalah pos menuju kekafiran atau hampir saja kefakiran  itu menjadi kekufuran, semua ini membutuhkan dalil yang shohih[2]. Ya, ada sebuah hadits yang sekilas sepertinya mendukung hadits ini yaitu doa Nabi:
    وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْكُفْرِ
    Dan aku berlindung kepadaMu dari kefakiran dan kekufuran. (HR. Nasai 1/198 dan Ahmad dalam Musnad 5/36, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Irwaul Gholil 3/357)
                Namun konotasi hadits ini sangat berbeda dengan hadits pembahasan sehingga tidak bisa dijadikan penguat, karena konotasi hadits adalah bahwa kefakiran itu mendekati kekafiran, sedangkan konotasi hadits kedua adalah bahwa Nabi berlindung dari kefakiran dan kekufuran. Penyebutan keduanya dalam doa bukanlah berarti keduanya sama-sama dalam kesatuan.[3]
                Sesungguhnya kekuatan Islam tidaklah disyaratkan kuatnya perekonomian, tetapi yang terpenting dari itu adalah kuatnya aqidah dan keyakinan. Hal ini sebagaimana terbukti oleh sejarah Nabi dan para sahabatnya, pemerintahan Abu Bakar, Umar dan lain sebagainya yang dapat mengembalikan dan menyebarkan kajayaan Islam dengan modal penggerak paling inti yaitu kekuatan aqidah, bukan kekuatan ekonomi semata.[4]
                Ketahuilah wahai saudaraku seiman, semoga Allah menjagamu bahwa keterpurukan ekonomi alias kefakiran dan kemiskinan yang menimpa kita sekarang ini bukanlah sesuatu hal yang baru muncul sekarang ini. Hal itu sangat jelas bagi orang yang mau meneliti sejarah. Bukankah kefakiran sudah ada sejak zaman Nabi dan para sahabat?! Namun, sekalipun demikian Rasulullah bersabda:
    فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ. وَلَكِنِّى أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ  
    Tidaklah kefakiran yang aku takutkan atas kalian, tetapi yang aku khawatirkan pada kalian kalau dibentangkan dunia pada kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka lakukan lalu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka. (HR. Bukhori 3791 dan Muslim 2961).
                Bahkan, sejarah mencatat bahwa sekitar tahun 334 H, di kota Baghdad harga-harga melambung tinggi hingga para penduduknya memakan mayat, kucing dan anjing. Di antara mereka ada juga yang menculik anak-anak lalu memanggang dan memakannya. Rumah-rumah ditukar dengan sepotong roti.[5] Apakah keadaan kita sampai derajat seperti itu?!!



    HANYA ISLAM, SOLUSI KEMISKINAN
    Kemiskinan dan kefakiran termasuk sunnatullah kepada hambaNya yang tentu saja di balik ada hikmahnya, bukan sesuatu yang sia-sia. Coba bayangkan, kalau seandainya semua orang kaya, lantas siapa yang akan mau jadi pekerja? Dan kalau semuanya miskin, siapa yang akan mengupah mereka?! Namun, jangan dipahami berarti kalau begitu kita berpangku tangan menghadapi kemiskinan dan menyerah dengan nasib. Tidak, sama sekali tidak, Islam telah memberikan jalan keluar untuk menghadapi kepungan wabah ini.
     Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Al-Allamah Abdur Rahman bin Nashir as-Sa'di tatkala mengatakan di awal risalahnya yang berjudul "Ad-Diin Ash-Shohih Yahullu Jami'a Al-Masyakil" (Agama Yang Benar Merupakan Solusi Segala Problematika): "Inilah sebuah risalah yang berkaitan dengan agama Islam yang menunjukkan ajaran terbaik dan membimbing hamba dalam aqidah dan akhlak serta mengarahkan mereka menuju kebahagiaan di dunia dan akherat. Serta penjelasan yang gamblang bahwa tidak ada cara untuk memperbaiki umat sepenuhnya kecuali dengan Islam. Dan penjelasan bahwa semua undang-undang yang menyelisihi agama Islam tidak dapat memperbaiki dunia dan akherat kecuali apabila bersumber dari ajaran agam Islam.
                Apa yang kami ungkapkan di atas telah dibuktikan kebenarannya oleh fakta dan pengalaman sebagaimana telah ditunjukkan kebenarannya oleh syari'at, fithrah dan akal yang sehat, karena agama ini seluruhnya adalah mengajak kepada kebaikan dan membendung kerusakan".[6]
                Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa termasuk kebijakan Allah tatkala menjadikan sebagian hambaNya ada yang kaya dan ada yang miskin agar mereka saling membantu dan bekerja sama dalam mewujudkan kebaikan untuk kedua belah pihak, baik ibadah badan, jihad melawan musuh, program kebajikan dan lain sebagainya dengan badan, harta dan pangkat masing-masing.
                Allah memerintahkan kepada yang kaya untuk mengeluarkan zakat, shodaqoh, dan membantu kebutuhan orang miskin setiap waktu. Demikian juga Allah memerintahkan kepada yang fakir untuk sabar, bekerja yang halal, syukur kepada Allah, qona'ah (merasa cukup dengan pemeberian Allah) dan pintar-pintar dalam pembelanjaan harta. Inilah petunjuk Islam kepada kaum kaya dan kaum miskin. Seandainya masing-masing mau melakukannya maka akan terwujudkan kebaikan di dunia dan akherat. [7]


    [1] Disadur dengan sedikit tambahan dari Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah no. 4080 oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Lihat pula Takhrij Musyiklatil Faqr no.2 oleh Syaikh al-Albani dan Al-Fatawa Al-Haditsiyyah 1/188-189 oleh Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini (Program Maktabah Syamilah).
    [2] Demikian dikatakan oleh Syaikhuna Ali bin Hasan al-Halabi dan Syaikhuna Masyhur bin Hasan ketika penulis menanyakan hal ini kepada beliau berdua dalam dauroh di Mojokerto lalu.
    [3] Demikian dikatakan oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan kepada penulis ketika kami tanyakan kepada beliau tentang hadits ini.
    [4] Lihat Nutaful Ma'arif hlm. 65-67 oleh Syaikh Muhammad bin Rosyid al-Ghufaili.
    [5] Lihat Al-Bidayah wa Nihayah 6/241 oleh Ibnu Katsir.
    [6] Al-Majmu'ah Kamilah li Muallafat Syaikh As-Sa'di 1/333.
    [7] Idem 1/347-350.

0 komentar: