• SESATKAH AQIDAH BAHWA ORTU NABI ADALAH KAFIR?!

    SESATKAH AQIDAH BAHWA ORTU NABI ADALAH KAFIR?!
    Oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi
    MUQODDIMAH
    Termasuk aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah yang jelas adalah tidak boleh menvonis seseorang dengan Neraka atau Surga kecuali berdasarkan dalil yang kongkrit dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih, karena ini termasuk masalah ghoib yang di luar pengetahuan seorang hamba. Namun apabila sudah ada dalil shahih yang menegaskan status seseorang bahwasanya dia si Surga atau Neraka maka kewajiban bagi seorang muslim adalah mengimaninya dan menerimanya degan bulat.
    Nah, di antara status keberadaan yang ditegaskan dalam hadits yang shahih adalah keberadaan orang tua Nabi di Neraka, hanya saja masalah ini masih menjadi kebingungan bagi sebagian orang dan ketergelinciran bagi sebagian pena para penulis, apalagi setelah terkumpulnya syubhat-syubhat dalam masalah ini yang digoreskan oleh as-Suyuthi dalam berbagai kitabnya yang banyak sekali seperti “Masaliku Hunafa fii Walidai Al-Musthofa”, “Ad-Duruj Al-Munifah fil Abaa’I Asy-Syarifah”, “Al-Maqomat As-Sundusiyyah fin Nisbah Al-Musthofawiyyah”, “At-Ta’zhim wal Minnah fii Anna Abawai Rasulillah Fill Jannah”, “Nasyru Alamain Al-Munifain fii Ihya’ Al-Abawain Asy-Syarifain”. “As-Subul Al-Jaliyyah fil Abaai Al-Aliyyah”.

    Gayung-pun bersambut, syubhat-syubhat tersebut dicuatkan oleh sebagian orang untuk menolak hadits shahih, ditambah dengan alasan cinta kepada Nabi, padahal mereka tahu bahwa surga dan neraka bukanlah diukur dengan nasab dan kehormatan, namun dengan iman dan amal shalih.
    Berikut ini kajian singkat tentang hadits pembahasan berikut bantahan terhadap syubhat-syubhat seputar masalah ini. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita semua untuk menjadi pembela-pembela hadits Nabi.
    A. TEKS HADITS DAN TAKHRIJNYA
    Ada dua hadits yang merupakan landasan dasar masalah ini:
    Dalil pertama:
    عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِيْ؟ قَالَ : فِي النَّارِ. فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ : إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
    Dari Anas, Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, dimanakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada ?”. Beliau menjawab : “Di neraka”. Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”.
    a. Takhrij Hadits
    Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (203), Abu Awanah dalam Musnadnya (289), Ahmad dalam Musnadnya (3/268), Abu Dawud dalam Sunannya (4718), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (578), Abu Ya’la dalam Musnadnya (3516), al-Baihaqi dalam Sunan kubra (7/190 no. 13856) dan Dalail Nubuwwah (1/191), Al-Jauraqani dalam Al-Abathil wal Manakir was Shihah wal Masyahir (1/132-233) dan Ibnu Mandah dalam kitab Al-Iman (926).
    Seluruhya lewat dari dua jalur:
    Jalur pertama dari Affan bin Muslim – Hammad bin Salamah – Tsabit Al-Bunani – Anas bin Malik.
    Jalur kedua dari Musa bin Isma’il – Hammad bin Salamah – Tsabit Al-Bunani – Anas bin Malik.
    b. Hukum Hadits
    Tidak ragu lagi bahwa hadits ini adalah shahih. Cukuplah sebagai hujjah akan keshahihannya bahwa Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam kitab Shahihnya yang masyhur itu. Syaikh Al-Albani berkata dalam Muqaddimah Bidayatus Suul hal. 16-17: ”Hadits riwayat muslim dan selainnya. Hadits ini shahih sekalipun as-Suyuthi memaksakan diri untuk melemahkan hadits ini dalam beberapa kitabnya.”
    Dalil Kedua:
    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : زَارَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ : اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِيْ فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
    Dari Abu Hurairah berkata: Nabi pernah menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang yang berada di sampingnya juga turut menangis kemudian beliau bersabda: ”Saya tadi meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohon ampun baginya (ibunya) tetapi saya tidak diberi izin, dan saya meminta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya (ibunya) kemudian Allah memberiku izin. Berziarahlah karena (ziarah kubur) dapat mengingatkan kematian.”
    a. Takhrij Hadits
    Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (976-977), Abu Dawud (3235), Nasa’i (4/90), Ibnu Majah (1572), Ahmad dalam Musnadnya (2/441), at-Thahawi dalam Musykil Atsar (3/89), al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (4/76), (7/190) dan Dalail Nubuawwah (1/190), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (5/463 no. 1554) dan Ma’alim Tanzil (3/115), Abu Ya’la dalam Musnadnya (6193), Al-Jauraqani dalam Abathil wal Manakir (1/230) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1429).
    Seluruhnya dari tiga jalur:
    Jalur pertama: Marwn bin Muawiyah – Yazid bin Kaisan – Abu Hazim – Abu Hurairah.
    Jalur kedua: Muhammad bin Ubaid – Yazid bin Kaisan – Abu Hazim – Abu Hurairah.
    Jalur ketiga: Ya’la bin Ubaid – Yazid bin Kaisan – Abu Hazim – Abu Hurairah (Riwayat Al-Hakim saja)
    b. Hukum Hadits
    Tidak dapat diragukan lagi bahwa hadits ini adalah shahih. Cukuplah sebagai hujjah bahwa Iman Muslim memasukkan hadits ini dalam kitab Shahihnya. Imam Baghawi berkata: ”Hadits ini shahih.” Al-Hakim berkata: ”Hadits shahih menurut syarat muslim tetapi keduanya (Bukhari Muslim) tidak mengeluarkannya.” Dan disetujui Imam Dzahabi!!
    Kami berkata: ”Imam Hakim benar dalam menghukumi hadits ini shahih menurut syarat Muslim, tetapi beliau salah ketika mengatakan bahwa imam Muslim tidak mengeluarkannya. Karena hadits ini diriwayatkan imam Muslim dalam Shahihnya sebagaimana anda lihat di atas.”
    B. BERSAMA AL-HAFIZH AS-SYUTHI
    Al-Hafizh as-Suyuthi melemahkan hadits pertama dalam kitabnya Masaliku Hunafa fi Walidai Musthofa 2/432-435 dengan alasan bahwa Hammad bin Salamah telah diselisihi oleh Ma’mar bin Rosyid, di mana beliau tidak menyebutkan lafadz ini tetapi dengan lafadz Apabila engkau melewati kuburan seorang kafir maka beritakanlah dia dengan neraka”. Hadits dengan lafadz ini lebih kuat, karena Ma’mar lebih kuat hafalannya daripada Hammad, sebab Hammad ada pembicaraan dalam hafalannya berbeda halnya dengan Ma’mar.
    Jawaban: Alasan ini adalah alasan yang sangat lemah sekali, sebab sebagaimana tidak samar lagi bagi para ahli hadits –termasuk as-Suyuthi sendiri- bahwa perawi yang paling kuat riwayatnya dari Tsabit al-Bunani adalah Hammad bin Salamah, sehingga apabila bertentangan dengan rawi lainnya maka yang dimenangkan adalah Hammad bin Salamah.
    - Abu Hatim ar-Rozi berkata –sebagaimana dalam al-’Ilal 2185: ”Hammad bin Salamah adalah orang yang paling terpoercaya apabila meriwayatkan dari Tsabit dan Ali bin Zaid”.
    - Ahmad bin Hanbal berkata: “Hammad bin Salamah lebih kuat daripada Ma’mar jika dia meriwayatkan dari Tsabit”.
    - Yahya bin Ma’in berkata: “Barangsiapa menyelisihi Hammad bin Salamah maka yang dimenangkan adalah Hammad. Dikatakan kepada beliau: Bagaimana dengan Sulaiman bin Mughiroh dari Tsabit? Beliau berkata: “Sulaiman bin Mughiroh memang terpercaya tetapi Hammad adalah orang yang paling tahu tentang Tsabit”.
    - Al-‘Uqaili berkata dalam adh-Dhu’afa 2/291: “Manusia yang paling terpercaya tentang Tsabit adalah Hammad bin Salamah”.
    Imam Muslim dalam Shahihnya seringkali meriwayatkan riwayat dari jalur Hammad bin Salamah dari Tsabit, berbeda halnya dengan Ma’mar bin Rosyid sekalipun beliau terpercaya tetapi para ahli hadits melemahkan riwayatnya dari Tsabit. Ibnu Ma’in berkata: “Ma’mar dari tsabit lemah riwayatnya”. Al-‘Uqaili berkata: “Riwayat yang paling munkar dari tsabit adalah riwayat Ma’mar bin Rosyid”.
    Setelah penjelasan ini, lantas apa artinya perbandingan yang dilakukan oleh al-Hafizh as-Suyuthi antara dua orang tersebut?! Jadi pendapat yang benar adalah riwayat Hammad bin Salamah, sedangkan riwayat Ma’mar bin Rosyid adalah munkar.[1]
    Sedangkan hadits kedua, as-Suyuthi tidak memberikan banyak alasan untuk melemahkannya kecuali ucapan yang global saja!!
    C. FIQIH HADITS
    Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata mengomentari hadits ini: “Ketahuilah wahai saudaraku seislam bahwa sebagian manusia sekarang dan sebelumnya juga, mereka tidak siap menerima hadits shahih ini dan tidak mengimani kandungannya yang menegaskan kufurnya kedua orang tua Nabi. Bahkan sebagian kalangan yang dianggap sebagai tokoh Islam mengingkari hadits ini berikut kandungannya yang sangat jelas.
    Menurut saya, pengingkaran seperti ini pada hakekatnya juga tertuju kepada Rasulullah yang telah mengabarakan demikian, atau minimal kepada para imam yang meriwayatkan hadits tersebut dan menshahihkannya. Dan ini merupakan pintu kefasikan dan kekufuran yang nyata karena berkonsekwensi meragukan kaum muslimin terhadap agama mereka, sebab tidak ada jalan untuk mengenal dan memahami agama ini kecuali dari jalur Nabi sebagaimana tidak samar bagi setiap muslim.
    Jika mereka sudah tidak mempercayainya hanya karena tidak sesuai dengan perasaan dan hawa nafsu mereka maka ini merupakan pintu yang lebar untuk menolak hadits-hadits shahih dari Nabi. Sebagaimana hal ini terbukti nyata pada kebanyakan penulis yang buku-buku mereka tersebar di tengah kaum muslimin seperti al-Ghozali, al-Huwaidi, Bulaiq, Ibnu Abdil Mannan dan sejenisnya yang tidak memiliki pedoman dalam menshahihkan dan melemahkan hadits kecuali hawa nafsu mereka semata.
    Dan ketahuilah wahai saudaraku muslim yang sayang terhadap agamanya bahwa hadits-hadits ini yang mengabarkan tentang keimanan dan kekufuran seseorang adalah termasuk perkara ghoib yang wajib untuk diimani dan diterima dengan bulat. Allah berfirman:
    (QS. Al-Baqoroh: 1-3)
    (QS. Al-Ahzab: 36)
    Maka berpaling darinya dan tidak mengimaninya berkonsekwensi dua hal yang sama-sama pahit rasanya: Pertama: Mendustakan Nabi. Kedua: Mendustakan para perawi hadits yang terpercaya.
    Dan tatkala menulis ini, saya tahu betul bahwa sebagian orang yang mengingkari hadits ini atau memalingkan maknanya dengan maka yang bathil seperti as-Suyuthi –semoga Allah mengampuninya- adalah karena terbawa oleh sikap berlebih-lebihan dalam mengagungkan dan mencintai Nabi, sehingga mereka tidak terima bila kedua orang tua Nabi seperti yang dikabarkan oleh Nabi, seakan-akan mereka lebih sayang kepada orang tua Nabi daripada Nabi sendiri!!!”. [2]
    Sebenarnya ucapan para ulama salaf tentang aqidah ini banyak sekali. Namun cukuplah kami nukil di sini ucapan Al-Allamah Ali bin Sulthan Ali al-Qari: ”Telah bersepakat para ulama salaf dan kholaf dari kalangan sahabat, tabi’in, imam empat dan seluruh ahli ijtihaj akan hal itu (kedua orang tua Nabi di neraka) tanpa ada perselisihan orang setelah mereka. Adapun perselihan orang setelah mereka tidaklah merubah kesepakatan ulama salaf.”[3]
    D. SYUBHAT DAN JAWABANNYA
    Di antara syubhat melemahkan hadits shahih, di sana ada beberapa syubhat lainnya yang perlu kita kupas sekalipun secara singkat:
    Syubhat pertama: Kedua orang tua Nabi hidup di masa fathrah
    Mereka berdalil dengan firman Allah:
    Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
    Syaikh Abu Zahrah (Al-Azhar, Mesir): ”Ayah dan ibu Nabi hidup pada masa fathrah (kekosongan Nabi), maka bagaimana mungkin keduanya akan diadzab?... Terus terang, saya (Abu Zahrah) tak dapat menahan telinga dan pikiranku tatkala saya membayangkan bahwa Abdullah dan Aminah berada di neraka!”
    Jawaban: Syaikh Al-Albani menjawab syubhat ini: ”Ketahuilah bahwa hadits ini walaupun sudah jelas keshahihan sanadnya, banyaknya syawahid (penguat)nya serta kesepakatan para ulama pakar menerimanya. Namun syaikh Abu Zahrah menolaknya mentah-mentah dengan penuh kelancangan dan kejahilan yang mendalam tatkala dia berkata.... (kemudian beliau menyebutkan perkataan Abu Zahrah di atas)
    Saya (al-Albani) katakan: Subhanallah! seperti inikah sikap hamba yang beriman kepada Rasulullah kemudian kepada para ulama mukhlisin (ikhlas) yang telah meriwayatkan hadits-hadits Nabi sekaligus menyaringnya antara shahih dan dhaif serta bersepakat tentang keshahihan hadits ini?! bukankah sikap Abu Zahrah ini adalah manhaj (metode) para pengekor hawa nafsu seperti mu’tazilah cs yang menimbang suatu kebaikan dan kejelekan berdasarkan akal? Lucunya Syaikh Abu Zahrah mengaku bahwa dirinya termasuk Ahli Sunnah, lantas mengapa dia menyelisihi mereka (Ahli Sunnah) dan meniti jalan Mu’tazilah, pendewa akal dan pengingkar hadits-hadits shahih berdasarkan hawa nafsu belaka... ”.[4]
    Syubhat kedua: Hadits-hadits tentang hidupnya kedua orang tua Nabi setelah mati lalu beriman.
    Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi hidup kembali dan beriman kepada Nabi. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa hadits-hadits tentangnyatelah mencapai derajat mutawatir.
    Jawaban: Hadits-hadits tentang imannya kedua orang tua Nabi seluruhnya maudhu’ dan mungkar sebagaimana ditegaskan oleh pakar ahli hadits.
    Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah berkata: ”Hadits itu tidak shahih menurut ahli hadits, bahkan mereka bersepakat bahwa hadits itu adalah dusta dan diada-adakan sekalipun diriwayatkan dengan sanad para perawi yang majahil (tidak di kenal). Sebenarnya tidak ada pertentangan dikalangan ahlu sunnah bahwa hadits itu palsu yang sangat nyata kedustaannya sebagaimana ditegaskan oleh ahli ilmu. Seandainya kejadian seperti ini benar-benar terjadi, niscaya akan banyak dinukil karena masalah seperti ini sangat luar biasa ditinjau dari dua segi:
    1. Segi menghidupkan orang yang telah mati.
    2. Segi keimanan setelah mati,
    Hadits ini di samping palsu juga bertentangan dengan al-Qur’an, hadits shahih dan ijma’.”[5]
    Syubhat ketiga: Celaan Kepada Nabi?
    Mereka mengatakan bahwa keyakinan/aqidah bahwa kedua orang tua Nabi di neraka termasuk kurang adab terhadap Rasulullah n\.
    Jawaban: Beradab terhadap Rasulullah yang sebenarnya adalah mengikuti perintahnya dan membenarkan haditsnya, dan kurang adab terhadap Rasululah adalah apabila menyelisihi petunjuknya dan menentang haditsnya. Allah berfirman:
    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Hujurat: 1)
    Alangkah bagusnya perkataan Syaikh Abdurrahman al-Yamani tatkala mengomentari hadits ini: ”Seringkali kecintaan seseorang tak dapat dikendalikan sehingga dia menerjang hujjah serta memeranginya. Padahal orang yang diberi taufik mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan mahabbah (cinta) yang disyariatkan. Wallahul Musta’an.”
    Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini juga berkata: ”Termasuk kegilaan, bila orang yang berpegang teguh dengan hadits-hadits shahih disifati dengan kurang adab. Demi Allah, seandainya hadits tentang islamnya kedua orang tua Nabi shahih, maka kami adalah orang yang paling berbahagia dengannya. Bagaimana tidak? sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat dengan Nabi n\ yang lebih saya cintai dari pada diriku ini. Allah menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan. Tetapi kita tidaklah membangun suatu ucapan yang tidak ada dalilnya yang shahih. Sayangnya, banyak manusia yang melangkahi dalil shahih dan menerjang hujjah. Wallahul Musta’an.” [6]
    Demikianlah pembahasan ini secara singkat. Barangsiapa yang ingin memperluas pembahasan ini maka kami persilahkan untuk membaca kitab Adillah Mu’taqad Abi Hanifah Fi Abawai Rasul karya Syaikh Mula Al-Qori, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Naqdhu Masalik as-Suyuthi fi Walidai Al-Musthofa oleh Dr. Ahmad bin Shalih az-Zahroni.


    [1] Dinukil dari jawaban Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam Majalah At-Tauhid, edisi 3/Th. 9. Dan lihat bantahannya lebih lengkap dalam tulisan beliau tersebut.
    [2] Silsilah Ahadits Ash-Shahihah no. 2592.
    [3] Adillah Mu’taqad Abi Hanifah Fi Abawai Rasul hal. 84
    [4] Shahih Sirah Nabawiyyah (hal. 24-27)
    [5] Majmu’ Fatawa (4/324)
    [6] Lihat Majalah at-Tauhid, mesir edisi 3/Rabiul Awal 1421 hal. 37

0 komentar: