• menanti si buah hati


    KATA PENGANTAR PENULIS


    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

    الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:

    Alangkah indahnya ucapan penyair bijak:
    نِعَمُ الإِلَهِ عَلَى الْعِبَادِ كَثِيْرَةٌ
    وَأَجَلُّهُنَّ نَجَابَةُ الأَوْلاَدِ
    Kenikmatan Allah begitu banyak pada hambaNya
    Dan yang termulia adalah mendapatkan keturunan.

    Alangkah besarnya anugerah tersebut! Alangkah indahnya kebahagian tersebut! Sungguh, betapa gembiranya suatu pasangan keluarga bila mendapat karunia anak, dan betapa girangnya seorang suami tatkala si isteri berkata kepadanya: Saya telah hamil!!
    Hal itu tak mengherankan, karena memang  anak merupakan suatu anugerah, penyejuk pandangan mata dan dambaan setiap keluarga. Bahkan, tak sedikit orang yang salah jalan untuk mendapatkannya sehingga mereka datang kepada kuburan, para dukun dan lain sebagainya!!.

    Alloh telah menjelaskan bahwa anak merupakan anugerah berharga dan perhiasan dunia:
    الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
    Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (QS. Al-Kahfi: 46)

    زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ

    Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita dan anak-anak. (QS. Ali Imran: 14)

    وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

    Dan orang-orang  yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami. Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)
    Namun di samping itu, kita harus ingat bahwa kehadiran si mungil dalam sebuah keluarga merupakan amanah yang amat besar di pundak kita. Apabila kita pandai menjaganya dari ‘polusi’ peradaban yang merusak maka si buah hati akan menjadi penyejuk hati. Namun, jika dia dididik ala jahiliyah, maka jangan heran sekiranya sang amanah ini menjadi bumerang kelak nanti.
    Di sinilah pentingnya bagi kita semua untuk memahami permasalahan ini. Nah, buku yang sekarang berada di tangan anda ini adalah merupakan tulisan ringkas berisi hukum-hukum tentang si buah hati dengan berlandaskan dalil-dalil yang shahih. Harapan kami tulisan sederhana ini bermanfaat bagi saudara-saudara kami yang ingin menjalankan ibadah kepada Alloh di dunia berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah ash-Shahihah.
    Kita berdoa kepada Allah agar menjadikan anak-anak kita sebagai penyejuk mata kita dan memberikan kepada kita kebahagiaan di dunia dan akherat. Amiin.









    MEMILIH ISTRI YANG SHALIHAH

             

                Kebaikan seorang anak dimulai dari benihnya yang baik. Maka hendaknya bagi seorang untuk mencari pendamping hidup yang baik, karena dia adalah calon pendidik dan pengasuh anaknya yang sangat berpengaruh bagi masa depan anaknya. Oleh karena itu, Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memilih wanita yang shalihah.
    فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
    Wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (QS. An-Nisa: 34) 
    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ  عَنِ النَّبِيَّ قَالَ : تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا, وَلِحَسَبِهَا, وَجَمَالِهَا, وَلِدِيْنِهَا, فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
    Dari Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda: "Wanita itu biasanya dinikahi karena empat perkara: hartanya, kehormatannya, kecantikannya, agamanya. Pilihlah wanita yang memiliki agama, niscaya engkau akan bahagia". [1]
    Ibnul Jauzi menasehatkan: "Hendaknya pandangan pertama kali dipusatkan pada agama sebelum kepada kecantikan, sebab bila agamanya sedikit maka pada hakekatnya wanita tersebut tidaklah berfaedah".[2]
    Ingatlah bahwa kecantikan yang hakiki adalah kecantikan hati, akhlak dan agama, karena itulah yang akan awet dan tahan lama, adapun keelokan wajah, kehormatan dan kekayaan harta, semua itu hanyalah sementara dan pasti fana.

    UPAYA MEMPEROLEH ANAK


    Memperoleh anak merupakan tujuan utama sebuah pernikahan. Rasulullah n/ telah menganjurkan hal tersebut kepada para sahabatnya.
    عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ n : أَمْهِلُوْا حَتَّى تَدْخُلُوْا لَيْلاً أَيْ عِشَاءً, لِكَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعْثَةُ, وَتَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ... الْكَيْسَ الْكَيْسَ يَا جَابِرُ يَعْنِيْ الْوَلَدَ
    Dari Jabir bin Abdillah berkata, “Rasulullah n/ bersabda, “Jangan tergesa-gesa sehingga kalian datang di malam hari -waktu Isya’- agar sang istri menyisir rambutnya yang kusut dan mencukur bulu kemaluannya. Pergaulilah... pergaulilah wahai Jabir yakni anak.” [3]
    Imam Bukhari membuat bab hadits ini dalam Shahihnya “Bab Upaya Mendapatkan Anak”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Maksudnya adalah dengan sering menggauli istri, atau anjuran agar dalam berhubungan bukan hanya untuk mencapai kesenangan semata, tetapi untuk tujuan mendapatkan anak. Memang Imam Bukhari tidak secara jelas mengungkapkan hal tersebut, namun beliau mengisyaratkan pada tafsir kata “kais” seperti yang akan saya sebutkan”. Kemudian Al-Hafizh membawakan perkataan para ulama seperti Ibnu A’rabi (pakar ahli bahasa), Ibnu Hibban, dan lainnya bahwa makna kais adalah jima’ (bersebadan).[4]
    Bahkan untuk tujuan mulia inilah, Nabi melarang umatnya untuk menikahi wanita yang mandul dan beliau mengkhabarkan bahwa dirinya berlomba-lomba memperbanyak umat.
    عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍzقَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ n فقال : إِنِّيْ أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ, وَإِنَّهَا لاَ تَلِدُ, أَفَأَتَزَوَّجُهَا ؟ قَالَ : لاَ, ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ, ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ, فَقَالَ : تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ, فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمْ الأُمَمَ
    Dari Ma’qil bin Yasar z/, ia berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah n/ seraya berkata, “Wahai Rasulullah, saya menyenangi seorang wanita berpangkat serta berparas cantik, tetapi dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya menikahinya?” Jawab Nabi, “Tidak.” Kemudian datang lagi kedua kalinya, beliau tetap melarangnya. Kemudian datang lagi ketiga kalinya, beliau bersabda, “Nikahilah wanita yang penuh kasih dan melahirkan, karena saya berlomba-lomba memperbanyak umat.”[5]
    Hadits ini mengandung dua faedah penting kepada kita:
    1. Larangan menikahi wanita yang mandul. Misalnya diketahui bahwa wanita tersebut tidak mengeluarkan darah haidh atau pernah dinikahi seorang laki-laki namun tidak melahirkan anak. Imam Nasa’i membuat bab tentang hadits ini dengan perkataannya “Bab Larangan Menikahi Wanita Mandul”.

    2. Anjuran menikahi wanita yang mempunyai dua sifat di atas, yaitu penuh kasih dan melahirkan. Dua sifat ini harus terpenuhi. Artinya, wanita yang melahirkan tetapi tidak penuh kasih, belum cukup. Dan wanita yang penuh kasih tetapi tidak melahirkan juga tidak dapat meraih tujuan pernikahan, yaitu memperbanyak umat Islam. Dua sifat ini dapat diketahui dengan melihat pada kerabat dan keluarganya. Karena secara tabiat, biasanya sifat mereka serupa antara satu sama lain.[6]


    BERSYUKUR KETIKA MENDAPAT ANAK


    Apabila orang tua telah memperoleh anugerah berupa kelahiran seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka hendaklah mereka bersyukur kepada Alloh. Tidak diperbolehkan menggerutu bila diberi anak perempuan karena hal tersebut termasuk perangai jahiliyah.
    Imam Baihaqi berkata: “Anak merupakan kenikmatan dan anugerah Alloh. Alloh l/ berfirman:
    وَاللهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً
    Alloh menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu. (QS. An-Nahl: 72)
    يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ الذُّكُورَ
    Dia (Alloh) memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. (QS. Asy-Syura: 49)
    Alloh telah mengkhabarkan kepada kita bahwa Dia telah memberikan nikmat kepada kita dengan mengeluarkan dari tulang rusuk kita seorang makhluk yang serupa dengan diri kita. Alloh juga mengkhabarkan kepada kita bahwa anak perempuan merupakan anugerah dan pemberian Alloh seperti anak laki-laki. Dan Dia mencela kaum yang tidak menyukai anak perempuan. Dijelaskan dalam firmanNya:
    وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِاْلأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
    Dan apabila seseorang dari mereka diberi khabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitam (merah padam)lah mukanya, dan dia sangat marah. (QS. An-Nahl: 58)
    Oleh karena itu, kewajiban bagi setiap kaum muslimin apabila diberi anak, baik laki-laki maupun perempuan, untuk memuji Alloh yang telah menciptakan keturunan dari tulang rusuk kita yang serupa dengan kita, yang dipanggil dan dinasabkan kepada kita.[7]
    Sebagai renungan, marilah kita perhatikan bersama bagaimana sikap Aisyah berikut. Imam Bukhari meriwayatkan dalam Adabul Mufrad (1256) dari Katsir bin Ubaid, ia berkata: “Adalah Aisyah apabila sanak kerabatnya melahirkan, dia tidak bertanya, “Laki-laki atau perempuan?” Tetapi dia berkata, “Apakah anaknya lahir dengan selamat?” Bila dijawab, “Ya,” dia berkata, “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (segala puji bagi Alloh, Rabb semesta alam).” [8]
    Imam Ahmad bin Hanbal apabila lahir anak perempuan untuknya, maka beliau berkata: "Sesungguhnya kebanyakan anaknya para Nabi adalah perempuan". Beliau juga berkata: "Telah datang beberapa hadits tentang hburan merawat anak perempuan".
    Yah'qub bin Bakhtan mengatakan: Saya memiliki anak putri, setiap kali dilahirkan untukku anak putri saya mendatangi Ahmad bin Hanbal, lalu dia mengatakan padaku: "Wahai Abu Yusuf, sesungguhnya para Nabi adalah bapak anak-anak putri". Ucapan itu lantas menghilangkan segala kesedihanku.[9]

    SUNNAHNYA TAHNIK[10]


    Apabila bayi telah dilahirkan, maka disunnahkan untuk mentahniknya, serta mendo'akannya dengan barokah. Banyak hadits yang mendasari hal ini, di antaranya:
    عَنْ أَبِيْ مُوْسَى قَالَ : ثُمَّ وُلِدَ لِيْ غُلاَمٌ, فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ n فَسَمَّاهُ إبرَاهِيْمَ, فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ, وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ, وَدَفَعَهُ إِلَيَّ وَكَانَ أَكْبَرَ وَلَدِ أَبِيْ مُوْسَى
    Dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “Telah lahir seorang anak bayiku kemudian aku membawanya kepada Rasulullah n/, maka beliau memberinya nama Ibrahim lalu mentakhniknya dengan kurma serta mendo’akan keberkahan kepadanya kemudian memberikannya kepadaku.” Dan dia adalah anak sulung Abu Musa.[11]

    Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah:
    1. Sunnahnya mentahnik bayi secara ijma’ (sepakat).
    2. Hendaknya orang yang mentahnik adalah orang shalih, baik laki-laki maupun wanita, bisa juga orang tuanya sendiri.
    3. Takhnik hendaknya dengan kurma, karena adanya beberapa faedah pada kurma yang tidak ada pada lainnya.
    4. Apabila orang shalih itu tidak ada di tempat itu, maka hendaknya dibawa kepadanya.[12]
    5. Mendoakan keberkahan bagi anak, seperti: "Semoga Allah memberkahimu", "Semoga Allah menjadikanmu anak yang shalih/shalihah dan penyejuk mata orang tuamu". Atau lafadz-lafadz sejenisnya.



    ADZAN DI TELINGA BAYI, SUNNAHKAH?!


    Sengaja judul di atas dibuat pertanyaan, agar para pembaca budiman memperhatikan masalah ini baik-baik. Sebab, hampir tidak ada seorang penulis yang membahas masalah ini melainkan mensunnahkan mengadzani bayi, sampai-sampai para ulama seperti Imam Baihaqi[13] dan Imam Ibnul Qayyim[14].
    Padahal perkaranya tidak demikian, artinya tidak disyari’atkan mengadzani telinga bayi, karena seluruh riwayat tentang masalah tersebut dha’if (lemah) dan tidak dapat terangkat (kepada derajat hasan) sebagaimana ditegaskan oleh Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani[15] Diantara hadits tersebut adalah sebagai berikut:
    مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَأَذَّنَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُمْنَى, وَأَقَامَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
    Barangsiapa yang dikaruniai seorang bayi, lalu dia adzani di telinga bagian kanan-nya dan iqomat di telinga bagian kirinya, maka dia tidak akan ditimpa gangguan jin.
                MAUDHU'. Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman 6/390, Abu Ya'la 6780, Ibnu Sunni dalam Amalul Yaumi wa Lailah 623 dari jalan Yahya bin Al-Ala' dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubaidillah dari Husain bin Ali.
    Sanad hadits ini maudhu', disebabkan  Yahya bin al-Ala' dan Marwan bin Salim adalah dua rawi yang memalsukan hadits.[16]
    Hadits ini memiliki beberapa penguat, tetapi sayangnya tetap tidak bisa terangkat derajatnya. Maka pernyataan sebagian ulama bahwa hadits ini adalah hasan adalah sebuah kekeliruan, termasuk Syaikh al-Albani dalam beberapa kitabnya, tetapi pada akhirnya beliau meralat pendapatnya. Oleh karena haditsnya lemah, maka tidak bisa diamalkan.[17]
    Dalam kitabnya Al-Insyirah fi Adabi Nikah (hal. 96), setelah membawakan hadits tentang adzan di telinga bayi, Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini[18] berkata, “Tetapi haditsnya lemah. Sedangkan hukum sunnah secara sepakat tidak dapat ditetapkan dengan hadits lemah. Sekalipun saya telah mencari dan membahasnya, belum juga mendapatkan penguatnya.”


    MENYUSUI

      Sebagian para ibu sekarang enggan untuk menyusui anaknya dengan air susunya, tetapi lebih suka menggantinya dengan susu-susu produk dan buatan. Hal ini tidak sesuai dengan syar'I dan medis. Dalam syar'I, karena Allah telah menganjurkan kepada para ibu untuk menyusui anak-anak mereka hingga genap dua tahun.
    وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
    Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan. (QS. Al-Baqarah: 233)
    Ayat ini memberikan kepada kita beberapa hukum:
    1. Sebaik-baik waktu persusuan adalah dua tahun secara sempurna
    2. Apabila kedua orang tua bersepakat untuk menyapih anaknya kurang dari dua tahun maka hukumnya boleh
    3. Boleh juga lebih dari dua tahun kalau memang hal itu dipandang perlu.[19]
                Secara medis, karena telah terbukti secara ilmiyah bahwa susu ibu lebih banyak mengandung manfaat bagi bayi daripada susu sapi atau susu buatan[20]. Diantaranya:
    1. Air susu ibu dapat membasmi kuman penyakit pada bayi
    2. Kehangatan air susu ibu sangat pas pada kondisi bayi
    3. Air susu ibu mengandung protein yang mudah dicerna
    4. Menjaga anak dari penyakit demam dan lainnya.
    5. Berpengaruh pada hubungan psikologis antara anak dan ibu[21].
                Namun hal yang perlu diperhatikan, kalau memang anak bayi hendak disapih, maka hendaknya disapih dengan bertahap, jangan sekaligus. Dan bila dia menangis maka bersegeralah untuk menengoknya karena barangkali itu adalah bahasa dia untuk meminta air susu. Dan janganlah cemas dengan tangisan bayi, karena tangisan bayi memiliki beberapa manfaat, diantaranya dapat menguatkan cairan lunak pada otak, dapat melebarkan saluran pernapasan dan juga menguatkan otot dan tulang-tulang".[22]



    SEMBILAHAN


    Bagi orang tua yang mampu, disyari'atkan untuk menyembelih kambing pada hari ketujuh setelah kelahiran bayinya. Dua ekor untuk bayi laki-laki dan satu ekor untuk bayi perempuan. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang banyak sekali, diantaranya:
    عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n قَالَ : كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَ يُحْلَقُ وَيُسَمَّى
    Dari Samurah bin Jundub bahwasanya Rasulullah n/ bersabda, “Setiap bayi tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) pada hari ketujuh, dicukur rambutnya serta diberi nama.”[23]
    عَنْ أُمِّ كُرْزٍ الْكَعْبِيَّةِ قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافَئَتَانِ, وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
    Dari Ummu Kurzin Al-Ka’biyah berkata, “Saya mendengar Rasulullah n/ bersabda, “Untuk anak laki-laki aqiqahnya adalah dua kambing yang sepadan, sedangkan anak perempuan satu kambing.” [24]
    Hadits ini mengandung beberapa faedah:
    1. Disyari'atkannya sembelihan, bahkan sebagian ulama ada yang mewajibkannya, karena Nabi menyerupakannya dengan pergadaian.
    2. Sembelihan boleh dilakukan oleh pihak kerabat keluarga maupun orang lain.
    3. Penyembelihan hendaknya dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran. Kalau lahir pada hari sabtu, maka sembelihan dilakukan pada hari jum'at yakni sehari sebelum hari kelahiran berikutnya. Ini kaidahnya. Hikmahnya ditunggu sampai hari ketujuh adalah optimis dengan keselamatan bayi karena telah melalui semua hari.[25]  
    4. Aqiqah anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan.
    5. Kambing sembelihan boleh jantan atau betina.
    6. Hewan sembelihan hanyalah kambing, tidak boleh yang lain[26].

    Beberapa Permasalahan Seputar Sembelihan:

    1. Hikmah dan Faedah Sembelihan
    Ada beberapa hikmah di balik syari'at aqiqah ini, diantaranya:
    a. Menghidupkan sunnah Nabi
    b. Taqarrub kepada Allah dan syukur kepadaNya
    c. Membebaskan anak bayi dari pegadaian
    d. Penyebab kebaikan anak, pertumbuhannya, keselamatannya, panjang umurnya dan terhindar dari gangguan syetan[27].

    2. Apakah sembelihan untuk bayi boleh dinamakan aqiqah?!
    Jawabnya: Terdapat perselisihan di antara para ulama, sebagian mereka tidak membolehkan dan sebagiannya lagi memperbolehkan. Pendapat terkuat adalah seperti yang diuraikan oleh Al-Hafizh Ibnul Qayyim “Perselisihan masalah ini persis dengan perselisihan tentang penamaan Isya’ dengan ‘Atamah. Dalam hal ini ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Adapun pendapat yang benar dalam dua masalah ini adalah dibenci melalaikan nama syar’i berupa Isya’ dan nasikah. Namun apabila tidak melalaikan nama syar’i (Isya’ dan nasikah) tersebut kemudian kadang-kadang menggunakan nama lain (‘atamah dan aqiqah) maka hukumnya tidak apa-apa (boleh). Dengan demikian tidak ada pertentangan diantara hadits Nabi.”[28]

    3. Bolehkah Memecah Tulang?
    Pada sebagian masyarakat berkeyakinan bahwa dalam menyembelih tidak diperbolehkan memecahkan tulang hewannya kemudian memendamnya dan lain sebagainya. Semua ini tidak ada dalilnya yang shahih sama sekali sebagaimana ditegaskan oleh Al-Allamah Shidiq Hasan Khan.[29]

    4. Bolehkah mengadakan walimah sembelihan?
    Jawabnya: Tidak ada hadits yang marfu’ sampai kepada Nabi tentang hal ini. Tetapi datang riwayat dari sahabat. Imam Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adab Mufrad (1255) dari Muawiyah bin Qurrah, ia berkata, “Tatkala anak saya Iyas lahir, saya mengundang beberapa sahabat nabi kemudian saya menjamu mereka lalu mereka berdo’a. Saya berkata, “Sesungguhnya kalian telah berdo’a, semoga Alloh memberkahi apa yang kalian do’akan. Saya akan berdo’a dengan suatu do’a maka aminkanlah. Maka saya pun berdo’a dengan do’a yang banyak sekali untuk agamanya, akalnya, dan lain sebagainya dan saya akan membuktikan padanya dengan do’aku pada saat itu.”[30]

    5. Apabila Belum Aqiqah, bolehkah mengaqiqahi dirinya tatkala sudah baligh?
    Jawabnya: para ulama berselisih pendapat tentang ini. Adapun pendapat yang kuat adalah boleh berdasarkan perbuatan Nabi n/.
    عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ n عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بُعِثَ بِالنُّبُوَّةِ
    Dari Anas bin Malik bahwasanya Nabi n/ mengaqiqahi dirinya setelah diutus dengan kenabian.[31]
    Ibnu Sirin berkata: Seandainya saya tahu kalau saya belum diaqiqahi, niscaya saya akan mengaqiqahi untuk diriku[32].
    Hasan Bashri berkata: Kalau engkau belum diaqiqahi, maka aqiqahilah sendiri sekalipun seudah dewasa[33].

     

    MENCUKUR RAMBUT BAYI

    DAN BERSEDEKAH DENGAN PERAK


    Perintah untuk mencukur rambut dan bersedekah berupa perak seberat rambut ini disebutkan dalam beberapa hadits, di antaranya:
    عَنْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ قَالَ : ثُمَّ عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ n عَنِ الْحَسَنِ بِشَاةٍ, وَقَالَ : يَا فَاطِمَةُ,  احْلُقِيْ رَأْسَهُ, وَتَصَدَّقِيْ بِزِنَةِ شَعْرِهِ فِضَّةً. قَالَ : فَوَزَنْتُهُ, فَكَانَ وَزْنُهُ دِرْهَمًا, أَوْ بَعْضَ دِرْهَمٍ
    Dari Ali bin Abi Thalib berkata, “Rasulullah n/ mengaqiqahi Hasan dengan kambing lantas bersabda, “Wahai Fathimah cukurlah (rambut) kepalanya dan bersedekahlah dengan perak seberat rambutnya.” (Ali bin Abi Thalib) berkata, “Kemudian saya menimbangnya ternyata seberat satu atau setengah dirham.” [34]
    Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah:
    1. Perintah mencukur rambut bayi.
    2.  Waktunya adalah pada hari ketujuh sebagaimana dalam hadits Samurah bin Jundub terdahulu (no. 4).
    3. Perintah bersedekah seberat rambut bayi berupa perak bagi orang-orang yang mampu, bila tidak mampu maka gugur sebagaimana firman Alloh:
    لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
    Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah: 286).
    3. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Seluruh riwayat secara sepakat menyebutkan dengan lafazh “perak”. Tidak ada satu riwayatpun yang menyebutkan dengan kata “emas”. Berbeda dengan apa yang dikatakan Ar-Rofi’i: “Disunnahkan bersedekah seberat rambut bayi berupa emas, bila tidak mampu maka berupa perak”.[35]
                Namun tidak boleh mencukur rambut bayi hanya sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya, karena Nabi melarang hal ini.
    عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n نَهَى عَنِ الْقَزَعِ
    Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah n/ melarang dari qaza’. [36]
    Hadits ini menunjukan secara jelas larangan qaza’. Nafi’ maula Ibnu Umar menjelaskan, “Qaza’ adalah mencukur sebagian rambut bayi dan meninggalkan bagian lainnya.”
    Al-Hafizh Ibnul Qayyim menjelaskan dalam bahwa qaza’ terbagi menjadi empat macam:
    a. Rambut bayi dicukur compang-camping (sebagian dicukur sebagiannya lagi tidak dicukur).
    b. Rambut bagian tengah dicukur sedangkan bagian pinggir dibiarkan sebagaimana perbuatan mayoritas pendeta Nashara.
    c. Rambut bagian pinggir dicukur sedangkan bagian tengah dibiarkan sebagaimana perbuatan para anak jalanan.
    d. Rambut bagian depan dicukur sedangkan bagian belakang dibiarkan[37].
    Seluruh jenis di atas termasuk kategori qaza’. Hikmah larangan qaza’ adalah seperti yang dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua ini merupakan kesempurnaan kecintaan Alloh dan RasulNya terhadap keadilan. Sebab adil diperintahkan hingga terhadap diri manusia sendiri, di mana Islam melarang seseorang mencukur sebagian rambutnya dan membiarkan bagian lainnya, karena hal tersebut termasuk kezhaliman terhadap kepala.” [38]

    Mengusap kepala bayi

    dengan darah atau minyak wangi?


    Sebagian orang ada yang mengusap kepala bayi dengan darah aqiqah, padahal ini dilarang oleh Islam sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits, di antaranya:
    عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ يَقُوْلُ: كُنَّا فيِ الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلاَمٌ, ذَبَحَ شَاةً, وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا, فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِالْإِسْلاَمِ, كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانَ
    Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya berkata, ”Pada masa jahiliyah dulu, apabila kami dikaruniai seorang anak, kami menyembelih kambing dan mengusapkan darahnya ke kepalanya (anak). Tetapi tatkala Islam datang, kami menyembelih kambing, mencukur (rambut) kepalanya serta mengusapnya dengan minyak wangi.”[39]
    Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa mengusap kepala bayi dengan darah termasuk adat-istiadat jahiliyah yang telah dihapus Islam. Sebagai penggantinya, disyari’atkan mengusap kepala bayi dengan minyak wangi setelah dicukur rambutnya[40].

    Memberi Nama Bayi


    Nama sangat penting sekali, oleh karenanya para ulama bersepakat bahwa hukum nama adalah wajib[41]. Dan perlu diketahui bahwa nama sangat berpengaruh sekali pada seorang, artinya nama yang baik merupakan tanda baiknya orang dan nama yang jelek merupakan tanda jeleknya seorang[42]. Dahulu pernah dikatakan:
    وَقَلَّمَا أَبْصَرَتْ عَيْنَاكَ ذَا لَقَبٍ
                                 إِلاَّ وَمَعْنَاهُ إِنْ فَكَّرْتَ فِيْ لَقَبِهِ
    Jarang sekali engkau mendaati seorang yang memiliki nama
    Kecuali kalau kamu renungkan, dia sesuai dengan namanya.
    Oleh karenanya, hendaknya orang tua memilihkan nama yang baik untuk anaknya sehingga tidak membuatnya minder di hadapan teman-temannya.
    Adapun waktu pemberian nama, maka boleh ketika setelah lahir sebagaimana dalam hadits Abu Musa:
    عَنْ أَبِيْ مُوْسَى قَالَ : ثُمَّ وُلِدَ لِيْ غُلاَمٌ, فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ n فَسَمَّاهُ إبرَاهِيْمَ, فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ, وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ, وَدَفَعَهُ إِلَيَّ, وَكَانَ أَكْبَرَ وَلَدِ أَبِيْ مُوْسَى
    Dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “Telah lahir seorang anak bayiku kemudian aku membawanya kepada Rasulullah n/, maka beliau memberinya nama Ibrahim lalu mentakhniknya dengan kurma serta mendo’akan keberkahan kepadanya kemudian memberikannya kepadaku.” Dan dia adalah anak sulung Abu Musa.[43]
    Dan boleh juga diundur hingga hari ketujuh berdasarkan hadits Samurah:
    عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n قَالَ : كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَ يُحْلَقُ وَيُسَمَّى
    Dari Samurah bin Jundub bahwasanya Rasulullah n/ bersabda, “Setiap bayi tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) pada hari ketujuh, dicukur rambutnya serta diberi nama.”[44]
    Al-Hafizh Ibnul Qayyim berkata: ”Tidak ada pertentangan antara hadits-hadits di atas, seluruhnya boleh (hari ketujuh atau sebelumnya–pen)[45]. Imam Ibnu Hazm berkata dalam”Memberi nama bayi saat lahir, dan bila pemberian nama ditunda hingga hari ketujuh, maka tidak apa-apa.”[46]
    Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat bagus dalam masalah ini, katanya kalau nama memang sudah siap maka langsung setelah lahir dan bila belum siap maka hendaknya ditunda hingga hari ketujuh[47]. Imam Baghawi mengatakan, ”Tidak sedikit dari kalangan ahli ilmu menyunnahkan agar bayi tidak diberi nama sebelum hari ketujuh, diriwayatkan dari Hasan (al-Bashri) dan inilah pendapat (Imam) Malik.”[48]
    Selanjutnya, hendaknya diperhatikan adab-adab memberi nama sebagai berikut:
    1. Hendaknya memilihkan nama-nama yang baik seperti Abdullah dan Abdur Rahman
    عَنِ ابْنِ عُمَرَ h قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ n : إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلىَ اللهِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
    Dari Ibnu Umar h/ berkata, Rasulullah n/ bersabda, ”Sesungguhnya sebaik-baik nama kalian di sisi Alloh adalah Abdullah dan Abdurrahman.” [49]
    Hadits ini menunjukkan keutamaan nama Abdullah dan Abdur Rahman. Syaikh Bakr bin Abdullah menjelaskan susunan nama yang utama sebagai berikut:
    a.  Nama Abdullah dan Abdur Rahman.
    b.  Setiap nama yang disandarkan kepada nama Alloh seperti Abdul Aziz, Abdul Malik, dan lainnya.
    c.  Setiap nama para nabi seperti Adam, Ibrahim, Yusuf, Isa, Musa, dan sebagainya.
    d.  Setiap nama orang-orang shalih seperti nama para sahabat Rasulullah n/.[50]

    2. Hendaknya mewaspadai nama-nama yang dilarang dalam Islam
    Sewajibnya bagi kaum muslimin untuk memperhatikan nama-nama anak mereka sehingga tidak bertentangan dengan syari’at dan tidak keluar dari kaidah bahasa Arab. Adapun nama-nama asing hasil impor dari negara kafir, maka ini merupakan kemaksiatan yang nyata, semisal: Jacklyn, Yuli, Diana, Susan, Vali, Victoria, Clara, Lara, atau Linda.” [51]
    Demikian juga harus diwaspadai dari nama-nama yang jelek dan dilarang. Di antaranya:
    a.  Setiap nama yang dihambakan kepada selain Alloh, seperti: Abdur Rasul, Abdu Ali, Abdul Husain, dan juga Abdul Muththalib menurut pendapat yang shahih[52].
    b.  Setiap nama orang kafir asing yang khusus kalangan mereka.
    c.  Setiap nama dari nama-nama Alloh seperti ar-Rahman, ar-Rahim, al-Khaliq, dan lainnya.
    d.  Setiap nama dari nama-nama patung sesembahan selain Alloh seperti Lata, ‘Uzza, Nailah, Hubal, dan lainnya.

    3. Hendaknya mengubah nama-nama yang jelek dengan nama-nama yang bagus
    Rasulullah n/ seringkali menerapkan hal ini dalam beberapa riwayat seperti Barrah diganti Zainab, Hazn diganti Sahl, Ashiyah diganti Jamilah, Syihab diganti Hisyam, dan lain sebagainya[53].

    4. Tidak mengapa memberi nama bayi dengan kunyah
    Kunyah (baca: kun-yah) yaitu nama yang diawali dengan ”Abu” jika laki-laki dan ”Ummu” jika perempuan. Hal ini merupakan suatu penghormatan dan kemuliaan, sebagaimana kata syair:
    أُكْنِيْهِ حِيْنَ أُنَادِيْهِ لِأُكْرِمَهُ
                       وَلاَ أُلَقِّبُهُ وَالسَّوْءَةُ اللَّقَبُ
    Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan padanya
    Dan saya tidak menggelarinya, karena gelar adalah jelek baginya.
    Rasululullah juga sering memberi kunyah kepada sebagian sahabatnya, di antaranya:
    عَنْ أَنَسٍ a قَالَ : كَانَ النَبِيُّ n أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا, وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرٍ, قَالَ أَحْسَبُهُ فَطِيْمٌ, وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ : يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ ؟
    Dari Anas a/ ia berkata, ”Nabi n/ adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya mempunyai saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila Rasulullah datang, beliau mengatakan, ’Wahai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan oleh nughair (nughair adalah sejenis burung)?’” [54]
    Hadits di atas menunjukkan disyari’atkannya kunyah bagi anak kecil dan bagi orang dewasa, sekalipun belum punya anak. Oleh karena itu, merupakan kebiasaan salaf dari kalangan sahabat adalah berkunyah sekalipun belum dikaruniai anak.[55] Maka hal ini membantah pendapat sebagian kalngan yang melarang kunyah bagi yang belum punya anak.
    Hal ini diperkuat lagi dengan hadits lainnya sebagai berikut:
    عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِلنَّبِيِّ n : يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ, فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ n : إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ, فَكَانَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ
    Dari Urwah bahwasanya Aisyah d/ pernah berkata kepada Nabi n/, ”Wahai Rasulullah, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku.” Maka Rasulullah n/ bersabda, ”Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah.” Setelah itu Aisyah selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah hingga meninggal dunia, padahal dia tidak melahirkan seorang anak pun.[56]
    Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya kunyah sekalipun belum punya anak. Maka hendaknya kaum muslimin menerapkan sunnah ini baik kaum pria maupun wanita. Karena hal ini termasuk adab Islam yang tidak ada dalam agama-agama lainnya sepengetahuan kami. Sungguh amat disayangkan banyak di antara kaum muslimin yang melupakan sunnah ini. Amat jarang sekali kita menjumpai orang yang berkunyah padahal dia mempunyai banyak anak, apalagi lagi yang belum punya anak![57]
    Hanya saja tidak diperkenankan bagi kaum laki-laki berkunyah dengan Abul Qasim, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits, di antaranya:
    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ a يَقُوْلُ : قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ n : سَمُّوْا بِاسْمِيْ, وَلاَ تَكْتَنُوْا بِكُنْيَتِيْ
    Dari Abu Hurairah a/ berkata, Abul Qasim n/ berkata, ”Pakailah namaku dan jangan berkunyah dengan kunyahku.” [58]
    Al-Hafizh Ibnu Qayyim berkata dalam setelah memaparkan perselisihan ulama dalam masalah ini, ”Pendapat yang benar adalah boleh bernama dengan namanya (Muhammad) dan dilarang berkunyah dengan kunyahnya (Abul Qasim). Lebih keras lagi larangan ini bila di masa beliau dan dilarang pula menggabung nama beserta kunyah beliau (Muhammad dan Abul Qasim).”[59]

    Khitan bagi bayi


    Disyari’atkan khitan bagi bayi berdasarkan hadits-hadits yang banyak sekali, di antaranya:
    عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّهُ جَاءَ إِلىَ النَّبِيِّ n فَقَالَ : قَدْ أَسْلَمْتُ, فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ n : أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
    Dari Utsaim bin Kulaib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya dia datang kepada Nabi n/ seraya berkata, ”Saya telah masuk Islam.” Nabi n/ bersabda kepadanya, ”Cukurlah rambut dan berkhitanlah.” [60]
    Hadits ini menunjukkan tentang disyari'atkannya khitan, bahkan mayoritas ulama mewajibkannya. Syaikh Albani berkata”Adapun hukum khitan, pendapat yang rajih (kuat) menurut kami adalah wajib dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim, beliau memaparkan segi wajibnya khitan dari lima belas segi....”[61]
    Hikmah di balik khitan banyak sekali, diantaranya adalah kebersihan, kesehatan, keindahan, penstabilan syahwat dan lain sebagainya.[62]
    Keindahan syariat ini diakui oleh orang-orang kafir sekarang. Dalam Majalah "American Family Physician" edisi bulan Maret 1990 M, dikutip komentar profesor Dizweel, seorang ketua rumah sakit di Wasingthon tentang khitan: "Dahulu sekitar tahun 1975 M, saya termasuk musuh bebuyutan khitan, saya mengerahkan segala upaya untuk memerangi khitan. Hanya saja pada tahun delapan puluhan, banyak penelitian membuktikan banyaknya anak-anak yang tidak dikhitan mengalami kebengkakan pada alat saluran air seni. Sekalipun demikian saya pun belum berfikir untuk menjadikan khitan sebagai solusinya. Tetapi…setelah penelitian lama dan mempelajari masalah ini dalam majalah-majalah kedokteran tentang khitan, sayapun akhirnya menemukan hasilnya sehingga saya menjadi pembela khitan untuk para anak-anak". [63]
    Bahkan khitan bukan hanya untuk bayi lelaki saja, namun mencakup bayi perempuan juga berdasarkan hadits-hadits berikut:
    عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ n قَالَتْ : إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ, فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ n فَاغْتَسَلْنَا
    Dari Aisyah d/ istri Nabi n/ berkata, ”Apabila dua khitan telah bertemu (bersebadan) maka wajib mandi, saya melakukannya bersama Rasulullah n/ kemudian kami mandi.” [64]
    Hadits ini menunjukkan disyari’atkan khitan bagi kaum wanita. Imam Ahmad berkata mengomentari hadits ini, ”Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa kaum wanita juga khitan.” [65]

    عَنْ أُمِّ عَطِيَّةِ الأَنْصَارِيَّةِ d أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتَنُ بِالْمَدِيْنَةِ, فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ n : لاَ تَنْهَكِيْ فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ, وَأَحَبُّ إِلىَ الْبَعْلِ
    Dari Ummu Athiyah al-Anshariyah d/ bahwasanya ada seorang wanita yang mengkhitan di Madinah, Rasulullah n/ bersabda kepadanya, ”Janganlah terlalu dalam karena hal itu lebih menceriakan wanita dan lebih menyenangkan suami.” [66]
    Syaikh al-Albani berkata: "Khitan bagi wanita merupakan perkara yang biasa pada masa salaf (sahabat). Berbeda dengan prasangka sebagian orang yang tidak memiliki ilmu".[67]
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya: "Apakah wanita itu dikhitan atau tidak?” Beliau menjawab, ”Segala puji bagi Alloh. Benar, seorang wanita itu juga dikhitan yaitu kulit bagian atas yang seperti jengger ayam itu.” (Kemudian beliau membawakan hadits ini) selanjutnya beliau menerangkan, ”Maksudnya, janganlah engkau terlalu dalam ketika memotongnya.
    Hal itu disebabkan tujuan khitan bagi laki-laki adalah mensucikan dirinya dari najis yang melekat pada ujung kemaluan. Sedangkan tujuan khitan bagi wanita adalah menstabilkan syahwatnya. Bila wanita tidak dikhitan maka syahwatnya akan menggelora, oleh karenanya dijumpai perbuatan-perbuatan kotor pada wanita Tartar yang tidak dijumpai pada wanita kaum muslimin. Dan bila terlalu banyak potongan khitannya maka syahwatnya akan lemah sehingga tidak memenuhi keinginan suaminya, tetapi apabila dipotong tanpa berlebih-lebihan maka akan stabil perkaranya. Wallohu A’lam.”[68]

    Beberapa Permasalahan Seputar Khitan:

    1.  Waktu Khitan.
    Dalam beberapa riwayat hadits, disebutkan waktu khitan adalah pada hari ketujuh dan inilah madzhab Syafi’iyah[69]. Hal ini juga banyak mengandung hikmah di antaranya; rasa sakit di masa kecil lebih ringan daripada sudah masa besar dan dalam khitan perlu membuka aurat, tentu saja membukanya di masa kecil lebih ringan daripada ketika sudah besar. Tetapi boleh mengakhirkan waktu khitan hingga waktu baligh sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas h/[70], dan ini adalah waktu yang wajib[71].

    2.  Bila Meninggal Sebelum Khitan
    Seandainya ada orang yang meninggal dunia sedang dia belum dikhitan maka dalam hal ini ada tiga pendapat para ulama. Dan pendapat yang kuat adalah tidak dikhitan[72].

    3.  Hiburan
    Tidak mengapa hukumnya hiburan bagi orang yang khitan selama tidak berlebih-lebihan dan tidak bertentangan dengan syari’at seperti yang dilakukan mayoritas manusia seperti musik dan lain sebagainya.[73]


    MELUBANGI DAUN TELINGA BAYI, BOLEHKAH?


    Melubangi daun telinga (tindik–jawa) bayi perempuan untuk menempatkan perhiasan diperbolehkan oleh syar’iat, sebagaimana ditegaskan Imam Ahmad. Adapun untuk bayi laki-laki, hukumnya dibenci. Alasan perbedaan tersebut karena perempuan membutuhkan perhiasan, sehingga melubangi daun telinga merupakan kebutuhan baginya. Berbeda halnya dengan bayi laki-laki. Hal ini diperkuat dengan dua hadits sebagai berikut:
    Dari Aisyah d/ dalam kisah sebelas wanita yang berkumpul membicarakan suami-suami mereka, di antaranya perkataan Ummu Zar’i:
    أَنَاسَ إِلَيَّ بِحُلِّيٍّ أُذُنَيَّ
    Suamiku memberikanku perhiasan pada telingaku.
    Kemudian di akhir hadits, Rasulullah n/ bersabda kepada Aisyah d/:
    كُنْتُ لَكِ كَأَبِيْ زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ
    Bagimu, aku bagaikan Abu Zar’i bagi Ummu Zar’i. [74]
    عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ a فِي قِصَّةِ صَلاَةِ الْعِيْدَيْنِ: فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِّيِّهِنَّ, يُلْقِيْنَ فِي ثَوْبِ بِلاَلٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
    Dari Jabir bin Abdillah a/ dalam kisah shalat hari raya, “.... Maka para wanita menyedekahkan perhiasannya, mereka meletakkan anting-anting dan cincinnya pada baju Bilal.[75]
    Al-Hafizh Ibnul Qayyim berkata “Cukuplah perbuatan dan persetujuan (para sahabat) akan hal tersebut sebagai dalil diperbolehkannya masalah ini. Kalau hal itu dilarang, tentu dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.”[76]
    Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya tentang hukum melubangi daun telinga atau hidung anak perempuan sebagai perhiasan menjawab, “Yang benar, tidak mengapa melubangi telinga perempuan karena ini merupakan sarana perhiasan yang diperbolehkan. Dan telah shahih, bahwa wanita-wanita sahabat dahulu memakai anting-anting di telinga mereka. Adapun melubangi hidung, saya pribadi belum mendapati penjelasan ahli ilmu tentangnya, menurut saya hal itu menjelekkan ciptaan Alloh, bila pada suatu negeri perhiasan di hidung merupakan keindahan maka melubanginya tidak apa-apa.”[77]

    HUKUM AIR KENCING BAYI


    Ketika kita tengah asyik bercengkerama dengan si mungil, tiba-tiba ngompol, dan mengenai pakaian kita. Apa tindakan kita? Najiskah pakaian kita karena terkena kencing bayi?
    Air kencing bayi laki-laki cukup dibersihkan dengan diperciki air. Lain halnya air kencing bayi perempuan, harus dicuci bersih. Hal ini berdasarkan hadits:
    عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ a أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n قَالَ فيِ بَوْلِ الْغُلاَمِ الرَّضِيْعِ : يُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلاَمِ, وَيُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ. قَالَ قَتَادَةَ : وَهَذَا مَا لَمْ يَطْعَمَا. فَإِذَا طَعَمَا غُسِلاَ جَمِيْعًا
    Dari Ali bin Abu Thalib a/ bahwasanya Nabi n/ pernah bersabda tentang air kencing bayi yang masih menetek, “Kencing bayi laki-laki (bisa suci dengan) diperciki air, sedang kencing bayi perempuan harus dicuci bersih.” Qatadah berkata, “Hal ini (berlaku) selagi kedua bayi tersebut belum makan (makanan selain ASI). Apabila sudah makan makanan, maka keduanya harus dicuci bersih.” [78]
    Hadits ini merupakan hujjah yang jelas bahwa air kencing bayi laki-laki cukup hanya dipercik. Adapun air kencing bayi perempuan harus dicuci bersih. Ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka, seperti Ahmad dan Ishaq. Hal itu selama keduanya belum makan[79]. Bila sudah makan, maka bekas air kencing keduanya harus dicuci, baik bayi laki-laki maupun perempuan.
    Imam Ibnul Qayyim menjelaskan rahasia sebab perbedaan tersebut: “Pembedaan antara bayi laki-laki dengan bayi perempuan ditinjau dari tiga segi;
    Pertama: Bayi laki-laki lebih sering dibawa bepergian daripada bayi perempuan, sehingga amat memberatkan bila harus mencucinya setiap kali ia kencing.
    Kedua: Air kencing bayi laki-laki tidaklah memancar (mengalir) pada satu tempat, akan tetapi memancar ke mana-mana. Lain halnya dengan bayi perempuan.
    Ketiga: Air kencing bayi perempuan lebih kotor dan bau daripada bayi laki-laki, sebab suhu air kencing bayi laki-laki lebih tinggi daripada air kencing bayi perempuan. Kadar panas yang terdapat pada air kencing tersebut mampu mengurangi baunya. Inilah beberapa alasan perbedaan antara keduanya.”[80]




    SAYANG ANAK


    Hendaknya bagi orang tua bersikap kasih dan sayang terhadap anak-anak mereka, sebab hal itu dianjurkan oleh agama. Demikian pula, hendaklah menjauhi sikap kasar dan keras, sebab hal itu dilarang agama. Rasulullah n/ merupakan suri tauladan yang baik dalam masalah ini.
    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ a قَالَ : قَبَّلَ رَسُوْلُ اللهِ n الْحَسَنَ بْنَ عَلِيِّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيْمِيُّ جَالِسًا, فَقَالَ الأَقْرَعُ : إِنَّ ليِ عَشْرَةً مِنَ الْوَلَدِ, مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا, فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ n ثُمَّ قَالَ : مَنْ لاَيَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
    Dari Abu Hurairah a/ berkata, “Rasulullah n/ mencium al-Hasan bin Ali sedang Aqra’ bin Habis duduk di sisinya. Aqra’ mengatakan, “Saya mempunyai sepuluh anak, belum pernah saya mencium seorang pun di antara mereka.” Rasulullah n/ memandangnya seraya berkata, “Barangsiapa yang tidak menyayangi maka tidaklah disayang.” [81]
    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ a قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n لَيُدْلِعُ لِسَانَهُ لِحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ فَيَرَى الصَّبِيُّ حُمْرَةَ لِسَانِةِ فَيَبْهَشُ إِلَيْهِ
    Dari Abu Hurairah a/ berkata, “Rasulullah n/ menjulurkan lidahnya kepada Hasan bin Ali sehingga anak kecil itu melihat warna merah lidah beliau lalu mengulurkan tangan untuk meraihnya.” [82]
                     Hadits tersebut memperlihatkan kepada kita betapa agungnya akhlak Nabi n/. Dan anjuran kepada kita untuk sayang terhadap anak-anak. Maka luangkanlah waktumu untuk bercanda dengan anak dengan tanpa berlebihan, karena jika berlebihan juga tidak bagus dan menghilangkan wibawa orang tua di depan anak.
        

    PENDIDIKAN ANAK


    Orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mendidik putra-putrinya. Oleh karenanya, Islam memperhatikan masalah pendidikan anak. Alloh Ta’ala berfirman:
    $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur
    Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS. at-Tahrim: 6)
    Ali bin Abu Thalib a/ menjelaskan, “Maksudnya, ajari dan didiklah mereka.[83]
    Rasulullah n/ juga banyak menjelaskan dalam haditsnya, di antaranya:
    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ a قَالَ قَالَ النَّبِيُّ n: كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
    Dari Abu Hurairah a/ bahwasanya Rasulullah n/ bersabda, “Setiap anak terlahir dalam keadaan fithrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” [84]
    عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ h يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ... وَالرَّجُلُ رَاعٍ فيِ أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

0 komentar: